Kopashas.com, Nasional – Permasalahan batu bara tidak hanya di Provinsi Jambi, masalah batu bara juga menarik perhatian para pemimpin Indonesia. Bagaimana tidak, upaya untuk menghentikan dampak sosial dan lingkungan dari tambang batu bara tidak sesuai dengan kebutuhan negara dan masyarakat.
Bahkan Komaidi Notonegoro, pengamat dan Direktur Eksekutif Institut Reforminer, mengatakan bahwa masalah batu bara Indonesia berada di antara cinta dan benci.
Dalam tayangan diskusi di Channel YouTube IDX, “Market Review”, Komaidi menjelaskan masalah yang kompleks yang terkait dengan batu bara di Indonesia. Karena itu, meskipun Pemerintah berusaha untuk beralih ke energi yang lebih hijau, target produksi batu bara untuk tahun 2024 meningkat menjadi 922,14 juta ton dari tahun sebelumnya.
Indonesia Produsen Batu Bara Ke-3
Menurut data yang dirilis oleh International Energy Agency pada tahun 2023, Indonesia masih menjadi produsen batu bara terbesar ketiga di dunia. Produksi batu bara Indonesia mencapai 725 juta ton, yang merupakan 8,3 persen dari total produksi batu bara dunia. Ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga terbesar di dunia, di belakang Cina, yang mencapai 4,43 miliar ton, dan India, yang mencapai 1,03 miliar ton.
Menurut Komitaidi Notonegoro, 75 persen pasokan listrik Indonesia berasal dari PLTU. Dengan demikian, tidak mungkin untuk mematikan PLTU karena kebutuhan listrik dasar masyarakat di seluruh Indonesia. Hal ini akan berdampak teknis dan fiskal pada Indonesia.
“Misalnya kalau dari listrik gitu Mas 70 sampai 75% Listrik kita kan dari PLTU ya, jadi bagaimana mungkin kita mau suntik mati PLTU. Begitu 75% dihasilkan dari sana kemudian itu mau disuntik mati, berarti ada beberapa hal yang terjadi, pertama masalah teknis dan yang kedua masalah fiskal,” Jelas Komaidi.
Batu Bara Sebagai Sumber Energi
Komaidi menyatakan bahwa alasan utama untuk terus menggunakan batu bara sebagai sumber energi adalah karena biaya produksi listrik yang sangat rendah. Jika sumber energi ini diganti, biaya produksi listrik akan meningkat. Akibatnya, tarif dasar listrik di seluruh Indonesia akan naik.
“Batu bara kan yang paling murah dibandingkan yang lain, mungkin kisarannya antara 600-700 rupiah per KWH. Sementara kalau yang lainkan average sudah di atas 1.000, bahkan BPP listrik nasional kan secara total di atas 1.000, artinya memang yang paling murah. Nah ketika yang paling murah itu akan diganti, berarti ada resiko inflasi atau kenaikan tarif dasar listrik. Nah ini siap atau tidak masyarakat,” tegas Komaidi.
BACA JUGA: Wagub Abdullah Sani Pinta Jadikan Turnamen Ekshibisi Dies Natalis Unja Sebagai Sinergitas Kolaborasi
Komaidi juga menjelaskan pengaruh penurunan drastis pendapatan negara. Menghasilkan lebih dari 700 juta ton setiap tahun, Indonesia adalah negara produsen ketiga terbesar di dunia. 200 juta ton digunakan untuk kebutuhan domestik, dan 500 juta ton lainnya di ekspor, menambah devisa negara.
“Faktanya kita masih butuh baik di dalam pasokan listrik maupun butuh untuk penerimaan APBN. Sebagian besar itu kan diekspor, jadi produksi kita kan 700 sekian, kemudian konsumsi dalam negeri kan masih di bawah 200. Sebagian besar untuk listrik, artinya kalau produksi 700 konsumsi dikisaran 200 maka ada 500 juta ton yang digunakan ekspor untuk memperoleh devisa atau untuk keuangan negara,” jelas Komaidi.
“Artinya ada inkonsistensi antara kampanye kita yang seolah-olah mengharamkan batubara, tetapi di sisi lain kita masih sangat butuh. Jadi kayaknya bilang Benci Tapi sebetulnya cinta,” tutupnya.